✏️ Umar Fauzi Baladraf
Dewasa ini muncul berbagai perkara-perkara yang ‘blur’ di tengah kaum muslimin. Berbagai komentar dan pendapat yang ada menjadikan kebanyakan dari kaum muslimin tidak bisa lagi membedakan manhaj yang haq dengan manhaj yang bathil, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah. Maka, otomatis pula tidak terbedakan lagi mana Ahlu Sunnah yang berada di atas kebenaran dan mana Ahlu Bid’ah yang berada di atas kesesatan.
Kondisi demikian semakin diperparah dengan maraknya para pemuda-pemuda yang sebenarnya memiliki semangat yang tinggi terhadap agamanya, namun disayangkan terpengaruh dengan pola-pola beragama para pengekor hawa nafsu alias Ahlu Bid’ah.
Berangkat dari situlah agama kita mewajibkan untuk tahdzir (memperingatkan) terhadap pola-pola dan metode-metode Ahlu Bid’ah, agar kaum muslimin mewaspadainya. Karena pola-pola mereka sejak zaman dahulu hingga detik ini tidak berubah dalam menyesatkan kaum muslimin dari manhaj yang haq.
Salah satu pola Ahlu Bid’ah yang tidak berubah dari dulu adalah selalu ‘ngawur’ dalam menyimpulkan hukum. Hal ini disebabkan karena mereka sejak awal melandasi pola beragamanya dengan hanya bersandar pada pendapat-pendapat fulan/alan, kisah-kisah fiktif, terkadang dengan al-Qur`an dan Sunnah pula, namun itu setelah melewati proses ‘sterilisasi’ oleh akal picik mereka, jika tidak steril mereka akan membenturkan dalil-dalil yang ada dengan akal mereka, kemudian menafsirkannya dengan hawa nafsu mereka, bukan dengan pemahaman para salaf, dari situlah mereka membangun aqidah rusaknya.
Lalu apa yang dihasilkan dari pola istidlal seperti ini?? Berikut hasilnya :
===============
Saya mendapati sebagian orang menyatakan: Pemboikotan berarti mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah dan bahwa pemboikotan itu adalah hak pemerintah.
Komentar saya:
Pertama: Pernyataan itu kontradiktif. Sebab, kalau diasumsikan pemboikotan sama dengan pengharaman, berarti pemerintah pun tidak berhak memboikot karena pemerintah tidak punya hak untuk mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah.
Kedua: Pemboikotan itu pada kenyataannya memang tidak sama dengan pengharaman. Kalau Anda mengajak keluarga Anda untuk memboikot atau tidak membeli dari tukang sate X, karena ia menghina orang tua, keluarga dan suku Anda, maka apakah itu berarti Anda menilai sate X itu haram? Tentu saja tidak.
Ketiga: Tentang posisi pemerintah, dari contoh di atas apakah Anda harus dapat izin pemerintah untuk mengajak keluarga memboikot sate X itu? Jawabnya pun tentu saja tidak. Bahkan pemerintah juga tidak pernah bikin ketentuan semacam itu.
Nah, apa yang saya sampaikan di atas itu kiranya sejalan dengan banyak fatwa ulama dalam konteks pemboikotan produk-produk Prancis. Allahu a’lam.
(selesai kutipan)
Jika yang berucap seperti ini adalah orang awam yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama, it’s ok. Namun bagaimana jadinya jika yang berucap adalah orang yang memiliki seabreg gelar pendidikan mentereng?? Atau dia seorang ustadz panutan umat dengan berjuta followers???? Tentu kita akan bertanya ‘bagaimana bisa mereka ‘longor’ (dungu)??
Awalnya kami tidak tertarik membantah tulisan sampah di atas, namun karena banyak yang nge-share tulisan tersebut, sampai-sampai para da’i (yang masih ngaku salafiy namun hakikatnya haroki) juga ikutan nge-share, maka berikut ini bantahan atas syubhat di atas.
Saya mendapati sebagian orang menyatakan: Pemboikotan berarti mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah dan bahwa pemboikotan itu adalah hak pemerintah.
Komentar saya:
Pertama: Pernyataan itu kontradiktif. Sebab, kalau diasumsikan pemboikotan sama dengan pengharaman, berarti pemerintah pun tidak berhak memboikot karena pemerintah tidak punya hak untuk mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah.
(selesai kutipan)
Iya itu kontradiktif jika yang berfikir orang seperti dia atau yang satu spesies dengannya. Namun tidak kontradiktif jika yang berfikir adalah para ulama yang melandasi kerangka berfikirnya dengan manhaj yang haq.
Ahlu Sunnah meyakini bahwa pemerintah memiliki hak untuk ditaati dalam perkara yang bukan termasuk ranah kemaksiatan. Terlalu banyak dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini. Allah ﷻ berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [1]
Nabi ﷺ bersabda :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Wajib mendengar dan taat bagi setiap muslim pada hal-hal yang ia senangi atau ia benci selama tidak diperintahkan untuk maksiat. Maka jika diperintahkan untuk maksiat tidak boleh mendengar dan taat. [2]
Maka wajibnya mentaati pemimpin juga mencakup perkara-perkara yang wajib, mustahab, mubah, dan makruh. Syaikh Ibrahim al-Ruhailiy -hafizhahullah- berkata :
أن يأمر بفعل مباح أو تركه فتجب طاعته في ذلك لعموم الأدلة الآمرة بطاعته في غير معصية، وهذا ما صرح بهذا العلماء
Pemimpin memerintahkan (rakyat) mengerjakan yang mubah atau melarangnya, maka wajib mentaatinya berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan taat kepada pemimpin selama bukan kemaksiatan. Inilah yang dinyatakan oleh para ulama. [3]
Kemudian beliau membawakan ucapan para ulama yang menekankan poin yang satu ini :
- Abu al-Abbas Ahmad Ibn Umar al-Qurthubiy -rahimahullah- (w. 656) ketika menjelaskan hadits Nabi إنما الطاعة في المعروف (hanyalah ketaatan itu berlaku pada perkara yang ma’ruf) berkata,
يعني بالمعروف هنا : ما ليس بمنكر ولا معصية. فتدخل فيه الطاعات الواجبة والمندوب إليها والأمور الجائزة شرعا. فلو أمر بجائز لصارت طاعته فيه واجبة ولما حلت مخالفته.
Yang ma’ruf maksudnya adalah perkara-perkara yang bukan kemungkaran atau kemaksiatan. Maka masuk dalam perkara ma’ruf juga adalah ketaatan yang secara syar’i wajib, mustahab, bahkan perkara-perkara yang mubah. Jika pemimpin memerintahkan perkara yang hukum syar’i-nya mubah maka jadilah hukum ketaatannya menjadi wajib dan tidak halal menyelisihinya. [4]
- Zainuddin al-Munawi -rahimahullah- (w. 1031) ketika menjelaskan hadits السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ (Wajib mendengar dan taat bagi setiap muslim pada hal-hal yang ia senangi atau ia benci selama tidak diperintahkan untuk maksiat) berkata :
وفيه أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب
Di dalam hadits tersebut ada penjelasan bahwa pemimpin tatkala memerintahkan perkara yang mustahab atau mubah, maka mentaatinya menjadi wajib. [5]
- Abu al-Ala Muhammad Ibn Abd al-Rahman Al-Mubarakfuri -rahimahullah- (w. 1353) juga berkata :
وفيه أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب
Di dalam hadits tersebut ada penjelasan bahwa pemimpin tatkala memerintahkan perkara yang mustahab atau mubah, maka mentaatinya menjadi wajib. [6]
- Zainuddin al-Munawi -rahimahullah- (w. 1031) juga berkata :
وفيه أن الإمام إذا أمر بمندوب يجب طاعته فيه فيصير المندوب واجباً
Di dalam hadits tersebut ada penjelasan bahwa pemimpin tatkala memerintahkan perkara yang mustahab, maka mentaatinya menjadi wajib, dan yang tadinya hanya mustahab berubah menjadi wajib. [7]
- Sulayman Ibn Muhammad al-Bujairami al-Syafi’i -rahimahullah- (w.1221) juga berkata :
وحاصله أنه إذا أمر بواجب تأكد وجوبه وإن أمر بمندوب وجب
Kesimpulannya, apabila pemimpin memerintahkan perkara yang wajib maka kewajiban itu semakin ditekankan. Dan apabila memerintahkan perkara yang mustahab, maka menjadi wajib. [8]
Di antara contoh perkara mubah yang diperintahkan oleh pemimpin dan wajib ditaati adalah peraturan lalu lintas, perdagangan, surat izin mengemudi, batas kecepatan di jalanan, lokasi parkir, paspor, visa, dan lainnya. Semua itu perkara mubah, namun ketika pemimpin memerintahkannya menjadi wajib. Demikian pula sebaliknya, perkara mubah yang dilarang oleh pemimpin seperti melanggar lalu lintas, mengemudi tanpa SIM, perdagangan tanpa izin, melanggar batas kecepatan di jalanan, dan lainnya. Semua perkara tersebut mubah, namun ketika dilarang oleh pemimpin maka berubah menjadi haram. [9]
Syaikh Ibrahim menekankan pada poin ini, bahwa meskipun hukumnya wajib ditaati namun tetap tidak merubah hukum asalnya secara syar’i. Sehingga ketika pemimpin memerintahkan/melarang yang mubah bukan berarti merubah status hukumnya secara asal. [10]
Bahkan jangankan yang mubah, perkara makruh (apabila ada kemaslahatan) jika diperintahkan oleh pemimpin atau perkara mustahab (apabila ada kemudharatan) jika dilarang oleh pemimpin, maka tetap wajib ditaati. Sebabnya karena mengerjakan yang makruh dan meninggalkan yang mustahab itu bukan kategori kemaksiatan, sehingga masih berlaku hukum taat kepada penguasa dalam hal demikian. Contoh seperti adanya visa progresif bagi jamaah haji & umrah yang menyebabkan mereka terhalangi melakukan perkara mustahab (yaitu memperbanyak ibadah umrah) karena mashlahat menghindari tumpukan manusia di haram. [11]
Inilah yang dicontohkan oleh para salaf. Tatkala penguasa memerintahkan yang makruh sekalipun, jika terdapat maslahat di dalamnya, maka mereka mentaatinya. Seperti Khalid Ibn al-Walid -radhiyallahu anhu- yang rela dicopot jabatannya oleh Khalifah Umar -radhiyallahu anhu- sebagai panglima mujahidin karena mempertimbangankan mafsadat yang timbul, yaitu menggantungkan kemenangan kepada sosok Khalid. [12]
Abdullah Ibn Mas’ud -radhiyallahu anhu- mentaati Khalifah Utsman -radhiyallahu anhu- untuk kembali ke Madinah dan berhenti mengajarkan al-Qur`an di Kufah. [13] Ammar Ibn Yasir -radhiyallahu anhu- mentaati Khalifah Umar -radhiyallahu anhu- apabila memang diminta untuk tidak meriwayatkan hadits Nabi. [14] Bahkan Imam Abu Hanifah -rahimahullah- enggan menjawab pertanyaan putrinya demi mentaati pemimpin yang ketika itu melarangnya berfatwa. [15]
Nampak jelas bagaimana sikap yang dicontohkan para salaf. Dan nampak jelas pula kontradiksi para pengekor hawa nafsu.
Kedua: Pemboikotan itu pada kenyataannya memang tidak sama dengan pengharaman. Kalau Anda mengajak keluarga Anda untuk memboikot atau tidak membeli dari tukang sate X, karena ia menghina orang tua, keluarga dan suku Anda, maka apakah itu berarti Anda menilai sate X itu haram? Tentu saja tidak.
Ketiga: Tentang posisi pemerintah, dari contoh di atas apakah Anda harus dapat izin pemerintah untuk mengajak keluarga memboikot sate X itu? Jawabnya pun tentu saja tidak. Bahkan pemerintah juga tidak pernah bikin ketentuan semacam itu.
(selesai kutipan)
Semakin ngawur dan amburadul. Bagaimana bisa pemboikotan dengan skala nasional (atau mungkin internasional) diqiyaskan dengan memboikot gerobak tukang sate skala kampung??
Perkara pemboikotan (secara nasional) yang sifatnya mencakup negara secara umum memang seharusnya menjadi wewenang pemegang negara, bukan menjadi hak kelompok-kelompok tertentu, karena mereka mempertimbangkan dan menimbang mashlahat dan mafsadat dari hal itu yang banyak dari rakyat tidak mengetahui pertimbangan apa yang ditimbang oleh pemimpin tersebut.
Rasulullah ﷺ (sebagai pimpinan) tidak mengizinkan Umar Ibn al-Khatthab -radhiyallahu ‘anhu- memenggal kepala Abdullah Ibn Ubay, atau Dzul Khuwaisiroh karena pertimbangan mafsadat yang lebih besar yang hanya diketahui oleh Rasulullah ﷺ sendiri.
Rasulullah ﷺ (sebagai pimpinan) menyetujui poin-poin perjanjian Hudaibiyah, yang secara zhahir justru itu merupakan kehinaan kepada umat Islam. Meskipun demikian beliau ﷺ tetap menyetujui karena pertimbangan mashlahat yang beliau ﷺ ketahui.
Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan -radhiyallahu ‘anhu- menunda baiatnya kepada Khalifah Ali Ibn Abi Thalib -radhiyallahu anhu- sampai Ali menqishash pembunuh Utsman Ibn Affan -radhiyallahu anhu-. Ali menunda permintaan Muawiyah bukan karena mendukung pembunuhan terhadap Utsman, namun beliau menimbang mashlahat yang lebih besar dari itu, yaitu meredam gejolak terlebih dahulu. Dan ketika Mu
awiyah menjabat sebagai khalifah, beliau menyadari dan mengalami sendiri apa yang dialami oleh Ali dahulu.
Maka, mengqiyaskan Pemimpin dengan Tukang Sate adalah qiyas yang amburadul. Kalaupun dipaksakan justru itu menjadi bumerang baginya.
Bukankah ketika keluarga tersebut memboikot tukang sate juga harus dengan perintah sang ayah sebagai kepala rumah tangga??!!
[1] QS. Al-Nisa : 59
[2] Muttafaq alaih
[3] Al-Ihkam fi Sabri Ahwal al-Hukkam, hal. 33
[4] Al-Mufhim lima asykala min Talkhish Kitab Muslim IV/41
[5] Al-Taysir bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir II/72
[6] Tuhfah al-Ahwadzi V/298
[7] Faidh al-Qadir IV/262
[8] Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khatib II/238
[9] Al-Ihkam fi Sabri Ahwal al-Hukkam, hal. 33
[10] Ibid, hal. 31
[11] Ibid, hal. 38
[12] Al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam IV/231
[13] Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab III/992-993
[14] HR. Muslim (368)
[15] Al-Intiqa’ hal. 169