بسم الله الرحمن الرحيم
JANGAN GAGAL FAHAM TENTANG TAHDZIR!
Seorang oknum -هداه الله- berkata:
“AJARI ILMU SYAR’I DULU SEBELUM YANG ITU
Al-Imam Zaid bin Sinan al-Asadi Rahimahullah berkata:
Jika seorang penuntut ilmu belajar mencela manusia sebelum belajar permasalahan agama, maka kapan dia bisa beruntung?
Dahulu di majlis beliau tidak ada seorang pun dari muridnya berbicara (mencela) seseorang, jika ada yang melakukannya maka beliau melarangnya dan membuatnya diam.
(Tartibul Madarik, 4/104)
Syaikh Badr al-Utaibi hafizhahullah berkomentar:
” Demikianlah para ulama pilihan berbicara dan bertindak, maka manusia-pun banyak mengambil manfaat darinya”.
(Faedah dari twit Syaikh Utaiby hafizhahullah)
Ajari para santri ilmu agama yang matang sebelum berbicara tahdzir. Semoga Allah menjaga kita semua…amin.”
⚠️ Bantahan atasnya dari beberapa sisi:
- Ini adalah kalimat yang haq, akan tetapi yang diinginkan adalah kebatilan karena lemahnya perhatianmu -wahai penulis- terhadap manhaj dan kegagalan pahammu -وفقك لكل خير-. Yang dimaksud dengan mencela manusia adalah ghibah yang haram yang tidak ada maslahat agama maupun dunia.
Adapun mentahdzir dari orang yang menyimpang maka itu disyariatkan dan bukan termasuk mencela manusia (ghibah yang haram), bahkan tahdzir termasuk amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dijelaskan oleh fadhilah asy-syaikh Abdul Malik Ramadhani -حفظه الله- dalam kitabnya Sittu Durar Min Ushul Ahl Al-Atsar: “Pokok yang kelima: Membantah orang yang menyimpang termasuk amar ma’ruf nahi munkar.”
- Ahlul Ilmi mulai dari para salaf sampai detik ini senantiasa berhati-hati dan mentahdzir dari mereka (ahlul bid’ah) serta dari bermajelis dengan mereka (lihat: Risalah Ilaa Waladi; Siapakah Temanmu? hlm. 53 oleh syaikh Faishal bin Abduh Al-Hasyidi -حفظه الله-).
Contoh-contoh tentang hal tersebut sangat banyak, serta kitab-kitab aqidah salaf penuh dengan hal tersebut, di antaranya:
- Abdullah bin Abbas -رضي الله عنهما- berkata:
لا تجالس أهل الأهواء، فإن مجالستهم ممرضة للقلوب.
“Janganlah engkau bermajlis dengan ahlul ahwa’; karena bermajelis dengan mereka bisa menyebabkan hati sakit. ” (Al-Ibanah Al-Kubra no. 361 oleh Imam Ibnu Baththah -رحمه الله-)
- Abu Qilabah -رحمه الله- berkata:
لا تجالسوا أهل الأهواء ، ولا تجادلوهم ، فإني لا آمن أن يغمسوكم في ضلالتهم ، أو يلبسوا عليكم ما تعرفون.
“Janganlah kalian bermajlis dengan ahlul ahwa’, dan janganlah berdebat kusir dengan mereka, karena aku khawatir mereka menyesatkan kalian atau menyamarkan apa yang kalian ketahui.” (Al-Ibanah Al-Kubra no. 363 oleh Imam Ibnu Baththah -رحمه الله-)
- Imam Al-Barbahari -رحمه الله- berkata:
وإذا رأيت الرجل مجتهدا – وإن بدا متقشفا محترقا بالعبادة – صاحب هوى، فلا تجالسه، ولا تقعد معه، ولا تسمع كلامه ولا تمش معه في طريق، فإني لا آمن أن تستحلي طريقته فتهلك معه.
ورأى يونس بن عبيد ابنه وقد خرج من عند صاحب هوى، فقال: يا بني! من أين جئت؟ قال: من عند فلان. قال: يا بني لأن أراك تخرج من بيت خنثى أحب إلي من أن أراك تخرج من بيت فلان، ولأن تلقى الله يا بني زانيا سارقا فاسقا خائنا أحب إلي من أن تلقاه بقول فلان وفلان.
“Apabila engkau melihat seseorang giat dalam beribadah akan tetapi ia adalah pengekor hawa nafsu, maka jangan bermajlis dengannya, jangan duduk dengannya, jangan mendengar ucapannya, jangan berjalan dengannya, karena aku khawatir engkau menganggap manis metodenya sehingga engkau binasa bersamanya.
Yunus bin Ubaid pernah melihat putranya keluar dari (bermajlis) dengan pengekor hawa nafsu maka beliau berkata: wahai anakku! Darimana engkau datang?, putranya menjawab: dari (bermajlis) dengan Fulan (ahlul bid’ah), maka beliau (Yunus bin Ubaid) berkata: seandainya engkau keluar dari rumah seorang banci maka itu lebih aku sukai dibandingkan engkau keluar dari rumah Fulan (ahlul bid’ah). Seandainya engkau wahai anakku bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam keadaan membawa dosa zina, mencuri, fasik, khianat maka itu lebih aku sukai dibandingkan engkau bertemu dengan Allah dalam terpengaruh dengan ucapan Fulan dan Fulan (ahlul bid’ah).” (Syarhussunnah no. 139 oleh Imam Al-Barbahari -رحمه الله-)
Wahai penulis -وفقك الله لكل خير-! Bagaimana bisa engkau mengambil ucapan ulama yang mutasyabih dan meninggalkan yang muhkam?!
- Bagaimana mungkin kita tidak mentahdzir santri dari orang-orang yang menyimpang padahal ilmu ini adalah agama dan wajib bagi setiap orang untuk selektif dari siapa dia mengambil imu syar’i ini?! Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Muhammad bin Sirin -رحمه الله-:
إن هذا العلم دين، فانظروا عمن تأخذون دينكم.
“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian. ” (Shahih Muslim)
Hal tersebut tidak mungkin terealisasi kecuali dengan tahdzir. Maka seorang santri butuh kepada tahdzir agar ia mengambil ilmu dari ulama yang terpercaya (ahlussunnah).
- Wahai penulis -هداك الله-! Seandainya ada ahli maksiat seperti pezina, pecandu khamr mengajak manusia kepada kemaksiatannya kemudian ada seseorang yang membantahnya, maka apakah engkau akan mengingkarinya ataukah justru engkau berterima kasih kepadanya? Aku yakin engkau akan berterima kasih kepadanya -jika fithrahmu masih lurus-. Maka kenapa engkau tidak berterima kasih kepada orang yang membantah orang yang menyimpang?!
- Wahai penulis -وفقك الله لكل خير- belajarlah ilmu syar’i dahulu sebelum berdakwah dan sebelum mentahdzir sebuah ma’had yang menyelenggarakan kajian tentang tahdzir; karena harus berilmu dahulu sebelum berucap dan beramal. Dan berkata tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu merupakan dosa besar serta penyimpangan dalam masalah tauhid sebagaimana yang dijelaskan oleh fadhilah asy-syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis -حفظه الله- dalam khutbah Jum’at dan kitabnya Mukhalafat Fii At-Tauhid, Allah Ta’ala berfirman:
{ وَلَا تَقۡفُ مَا لَیۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولࣰا }
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [Surat Al-Isra’: 36]
Dan Allah Ta’ala juga berfirman:
{ قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّیَ ٱلۡفَوَ ٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡیَ بِغَیۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ یُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَـٰنࣰا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ }
“Katakanlah (wahai Nabi Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yag terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu berkata-kata atas nama Allah apa yang tidak kamu ketahui.” [Surat Al-A’raf: 33]
الله أسأل أن يجعلنا ممن تحيا بهم السنن، وتموت بهم البدع، وتقوى بهم قلوب أهل الحق، وتنقمع بهم نفوس أهل الأهواء، بمنه وكرمه.
✍️🏻 Ditulis oleh Ali Dahdah pada 8 Rabi’ Ats-Tsani 1444 H / 2 November 2022 dan telah dimuraja’ah oleh fadhilah asy-syaikh Dr. Abdul Aziz Ar-Rayyis -حفظه الله-