BENARKAH TAHDZIR ITU MENCELA ?
Tidak sedikit di antara kaum muslimin yang alergi dengan istilah Tahdzir terhadap orang yang menyimpang, bahkan sebagian orang yang menisbatkan diri kepada manhaj salaf -tak terkecuali oknum ustadznya- layaknya cacing yang kepanasan tatkala ada ahli ilmu yang membicarakan penyimpangan seseorang.
Di antaranya adalah oknum ustadz yang sudah terkenal mencla-menclenya, dia berusaha menggiring opini bahwa tahdzir itu adalah celaan, sehingga sang oknum menyeru agar para santri tidak diajarkan masalah tahdzir sebelum matang ilmu agamanya.
Sang oknum berkata :
AJARI ILMU SYAR’I DULU SEBELUM YANG ITU
Al-Imam Zaid bin Sinan al-Asadi Rahimahullah berkata:
Jika seorang penuntut ilmu belajar mencela manusia sebelum belajar permasalahan agama, maka kapan dia bisa beruntung?
Dahulu di majlis beliau tidak ada seorang pun dari muridnya berbicara (mencela) seseorang, jika ada yang melakukannya maka beliau melarangnya dan membuatnya diam.
(Tartibul Madarik, 4/104)
Syaikh Badr al-Utaibi hafizhahullah berkomentar:
” Demikianlah para ulama pilihan berbicara dan bertindak, maka manusia-pun banyak mengambil manfaat darinya”.
(Faedah dari twit Syaikh Utaiby hafizhahullah)
Ajari para santri ilmu agama yang matang sebelum berbicara tahdzir. Semoga Allah menjaga kita semua…amin.
=== selesai kutipan ===
Akankah sang oknum membiarkan anak didiknya mengambil ilmu dari orang yang menyimpang dengan alasan mereka belum matang ilmu agamanya..??!! Ternyata faktanya tidak demikian.
Lebih parah lagi apakah sang oknum membiarkan anaknya sendiri berkawan dengan teman yang buruk dengan alasan si anak masih belum matang sehingga belum pantas untuk ditahdzir dari teman yang buruk..??!!
Bukankah metode belajar yang terbaik adalah Tashfiyah dan Tarbiyah secara berbarengan..??
ِAjarkan kepada mereka Tauhid sekaligus peringatkan mereka dari kesyirikan dan pelakunya..!!
Ajarkan kepada mereka Sunnah sekaligus peringatkan mereka dari Bid’ah dan pelakunya..!!
Tulisan di atas sejatinya adalah TALBIS (menyamarkan antara mencela dan mentahdzir). Apa yang dia nukil dari ucapan ulama sangat tidak nyambung dengan kesimpulan yang dia tulis di bawahnya.
Syaikh Dr. Badr Ibn Ali al-Utaibiy mengatakan dalam Tweetnya @badralialotibu1 (16 Sep 2021) :
قال زيد بن سنان الأسدي (ت:٢٤٤):
(إذا كان طالب العلم لا يتعلم؛ أو قبل أن يتعلم مسألة في الدين؛ يتعلم الوقيعة في الناس، متى يفلح؟)
وكان لا يتكلم أحد في مجلسه بعينه في أحد، فإذا تكلم بذلك نهاه وأسكته).
ترتيب المدارك (٤/ ١٠٤)
وهكذا كان يقول خيار المشايخ ويفعل فعظم انتفاع الناس بهم.
Nampak bahwa yang dimaksud oleh Syaikh Badr ataupun oleh al-Imam Zaid Ibn Sinan adalah الوقيعة (al-Waqi’ah) bukan التحذير (al-Tahdzir) seperti yang disimpulkan oleh sang oknum.
Makna الوقيعة في الناس adalah غيبة الناس / mengghibahi manusia (Lihat al-Mu’jam al-Wasith).
Sedangkan التحذير maknanya حذره الشيء adalah memperingatkannya akan sesuatu, sebagaimana firman Allah :
{وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ}
Dan Allah memperingatkan kamu akan diri-Nya. [QS. Ali Imran 28] (Lihat al-Mu’jam al-Wasith)
Faktanya, Syaikh Badr bukanlah seorang mumayyi’/mlempem (seperti kelakuan sang oknum), beliau adalah ulama salafiy yang lantang membicarakan penyimpangan orang-orang yang menyimpang. Beliau membantah penyimpangan Khalid Bahmid al-Anshari, Abd al-Ilah al-Arfaj, Abdurrahman Baliq, Musthafa al-Adawi, dll.
Apakah itu berarti Syaikh Badr mencla-mencle sebagaimana kebiasaan sang oknum yang gemar mencla-mencle??!!
Apakah sang oknum sudah lupa dengan rekam jejak kalimat “santun”nya selama ini :
- ‘Panen dosa mungkin iya’. (ditujukan kepada dua calon presiden RI 2019 yang salah satunya masih sah sebagai Presiden)
- …. orang yang berakal yang tidak gila
العاقل غير مجنون
(dia tujukan kepada yang lebih senior darinya)
- … apalagi tak selamat dari pedasnya lisanmu (ketika membantah yang lebih senior darinya)
- ….mosok belum dewasa juga.
- …ah ada2 aja luh.
- …yang gentle lah.
- …elunya aja yang ngk paham!
- Tidak pernah saya melihat setolol orang yang… kecuali orang bahlul itu.
- jama’ah tabligh Iki jama’ah nduableggg pollll wis…
- wong gendeng…
Itu sebagian dari ucapan sang oknum yang “beradab”?!
- Apakah dia hilang akal atau ingatan tentang ucapan-ucapannya itu?!
- Apakah ucapan-ucapan itu lembut menurutnya?!
- Apakah untuk dia halal untuk yang lain haram?!
- Apakah dia menganggap dirinya sudah tingkat ma’rifat dan yang lain dianggap masih syariat?!
- Apakah dia memiliki standar ganda atau wajah ganda?!
- Apakah memang ini watak mencla-menclenya?!
- Apakah dia tidak pernah ngaca?!
- Apakah memang dia tidak punya rasa malu?!
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ – كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [QS. al-Shaf 23] (Lihat “INILAH BANTAHAN ADEM MENURUT SALAFI, PANAS MENURUT HIZBI HARAKI IKHWANI oleh al-Ustadz Abdurrahman Thoyyib)
Gara-gara munculnya Talbis dari ‘Fattan’ semacam inilah para Ulama semisal al-Hafizh Ibn Rajab -رحمه الله- sampai menulis sebuah risalah yang berjudul al-Farq bayn al-Nashihah wa al-Ta’yir (perbedaan antara Nasehat dan Mencela) dan juga al-Imam Ibn al-Qayyim -رحمه الله- dalam akhir kitab al-Ruh, agar kaum muslimin memahami bahwa Tahdzir tidak selalu identik dengan mencela atau mengghibah.
Manusia -secara umum- dalam masalah tahdzir terbagi menjadi 3 golongan :
- Golongan yang berlebihan, yaitu yang serampangan dalam masalah tahdzir alias tahdzir yang tidak dibangun di atas hujjah.
- Golongan yang meremehkan, yaitu yang meremehkan bahkan alergi dengan tahdzir, menganggap bahwa tahdzir adalah celaan dan ghibah.
- Golongan yang pertengahan, yaitu yang melakukan tahdzir dengan kaidah-kaidahnya, dibangun di atas hujjah.
Ghibah atau Celaan telah jelas keharamannya berdasarkan dalil al-Qur`an, Hadits dan Ijma’. Allah berfirman :
{وَلَا یَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَیُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن یَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِیهِ مَیۡتࣰا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابࣱ رَّحِیمࣱ}
dan janganlah ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, Sungguh, Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. [QS. Al-Hujurât: 12]
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiyalallahu ‘anhu- :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tahukah kalian apa ghibah itu?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Yaitu engkau membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu apabila orang yang kubicarakan itu memang sesuai dengan apa yang kuucapkan?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Apabila itu benar seperti apa yang kau bicarakan, maka berarti engkau telah berbuat ghibah, namun apabila yang kau bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti engkau telah menuduhnya dengan kedustaan.” [HR. Muslim]
Imam al-Qurthuby -رحمه الله- di dalam Tafsirnya telah menukil Ijma’ akan hal ini, bahkan para ulama bukan hanya sepakat akan keharaman ghibah, lebih dari itu mereka sepakat bahwa ghibah termasuk Dosa Besar.
PERBEDAAN GHIBAH/MENCELA DAN NASEHAT
Imam Ibn al-Qayyim -رحمه الله- telah menyebut perbedaan dua hal ini dalam akhir Kitab al-Ruh, yaitu :
- Jika membicarakan keburukan seseorang karena adanya kemaslahatan duniawi atau agama, maka itu Nasehat.
- Jika membicarakan keburukan seseorang tanpa adanya kemaslahatan duniawi atau agama, maka itu Ghibah/Celaan.
Para Ulama berdalil -tentang bolehnya membicarakan keburukan seseorang karena adanya maslahat- dengan kisah Fathimah bint Qais -رضي الله عنها- yang meminta saran kepada Nabi ﷺ setelah ia dipinang oleh tiga orang lelaki (Abu Jahm, Mu’awiyah dan Usamah), maka Nabi ﷺ mengatakan :
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul -pent), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” [HR. Muslim]
Dalil yang lain adalah kisah Hind bint ‘Utbah -رحمه الله- yang pernah mengeluhkan suaminya (Abu Sufyan) kepada Nabi ﷺ,
قَالَتْ هِنْدُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِينِي وَبَنِيَّ قَالَ خُذِي بِالْمَعْرُوفِ
Hindun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Maka apakah aku berdosa bila mengambil sesuatu dari hartanya yang dapat menutupi kebutuhanku dan juga anakku?” beliau menjawab, “Ambillah dengan cara yang wajar.” [HR. al-Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bolehnya membicarakan keburukan seseorang karena adanya maslahat duniawi. Maka, apabila membicarakan keburukan seseorang karena maslahat duniawi diperbolehkan di dalam agama -padahal itu hanya urusan personal seseorang-, maka tentu membicarakan keburukan seseorang karena maslahat agama lebih diperbolehkan, apalagi itu menyangkut urusan umat secara umum.
Namun sangat disayangkan, banyak di antara orang awam atau oknum ustadz yang pola pikirnya sama dengan orang awam, merasa kepanasan dengan tahdzir/nasehat, bahkan mereka mencaci-maki dan memberikan laqob-laqob buruk kepada orang yang menasehati. Yang demikian karena mereka menimbang segala sesuatu dengan hawa nafsu dan perasaannya, bukan dengan timbangan yang syar’i. Oleh karenanya kita dapati mereka sangat kontradiksi dalam masalah nasehat/tahdzir ini :
- Jika ada yang memperingatkan kepada mereka bahwa ada seorang yang memiliki penyakit menular yang berbahaya agar jangan mendekat kepadanya, maka mereka akan berterima kasih kepada yang memperingatkannya.
- Namun jika ada yang memperingatkan kepada mereka bahwa ada seorang ustadz/dai yang memiliki penyimpangan berbahaya, maka mereka mengingkarinya.
Anda akan dapati pula kontradiksi mereka tatkala ada seorang salafiy yang membicarakan penyimpangan dengan hujjah dan dalil, mereka akan menuduhnya sebagai ghibah dan celaan, namun ternyata mereka sendiri mencela salafiyyiin dengan memberikan laqob-laqob buruk (Puber Manhaj, Kanebo Kering, Kokohiyun, Polisi Manhaj, dll) yang semuanya murni celaan tanpa ada hujjah dalil sama sekali.!!
Inilah Manhaj mencla-mencle, plin-plan lagi mudzabdzab. Mereka memandang jika tahdzir itu sesuai dengan hawa nafsunya maka mereka terima, namun jika tidak sesuai dengan hawa nafsunya maka mereka ingkari.
Semoga Allah menjaga kita dari segala penyimpangan dan kesesatan.
إنه ولي ذلك والقادر عليه
✍🏻 Umar Fauzi Baladraf
Referensi :
Syarh al-Farq Bayn al-Nashihah wa al-Ta’yir oleh Fadhilatus Syaikh Dr. Abd al-Aziz al-Rayyis.